TIMES FAK FAK, JAKARTA – Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Duka menyeruak. Berbagai lini masa dan group percakapan Nahdlatul Ulama (NU), pesantren dan para aktivis dipenuhi kabar wafatnya KH Muhammad Imam Aziz. Kiai kharismatik, pejuang kaum marginal, pendiri dan pengasuh pesantren, aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan tokoh di lingkungan NU itu berpulang pada hari Sabtu, 12 Juli 2025 dalam usia 63 tahun. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi umat, bangsa, dan kemanusiaan.
Mas Imam Aziz, demikian biasa saya menyapa, lahir tanggal 29 Maret 1962 di sebuah desa kecil di Pati Jawa Tengah. Tumbuh di lingkungan keluarga sederhana, namun sangat mencintai ilmu.
Aktif dalam organisasi sejak usia muda, Mas Imam Aziz tercatat sebagai salah satu kader militan PMII pada era 1980-an. Saya sendiri mengenal pertama kali di tahun 1990. Berlanjut hingga bersama dalam satu kamar kerja sebagai sesama Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Kramat Raya, Jakarta dan sebagai Staf Khusus Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin.
Di tengah pergolakan sosial-politik akhir Orde Baru, ia tampil sebagai aktivis yang tangguh dan memiliki kemampuan advokasi luar biasa. Tegas membela kaum tertindas, namun sangat santun dalam laku dan tutur kata. Ketika sebagian orang terseret dalam pragmatisme politik, Mas Imam Aziz tetap teguh dalam prinsip perjuangan dan keikhlasan.
Di balik kiprah sosialnya yang luas, Mas Imam Aziz adalah seorang kiai yang setia pada dunia pendidikan dan dakwah. Pada tahun 2018, ia mendirikan sebuah pesantren yang kini dikenal sebagai Pondok Pesantren Bumi Cendikia, terletak di Dusun Gombang, Desa Tirtoadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
“Pendidikan yang baik tidak hanya bertumpu pada pengetahuan semata, namun dapat menyatu sebagai perilaku dalam kehidupan nyata secara terus-menerus (istiqomah),” demikian ujarnya.
Kiprah dan komitmen perjuangannya mengantarkan Mas Imam Aziz sebagai salah satu Ketua PBNU di era kepemimpinan KH Said Aqil Siroj dua periode berturut, 2010-21015 dan 2105-2021. Dengan pemikiran yang tajam, di posisi ini ia tak jarang menjadi suara penyeimbang dalam dinamika organisasi yang kompleks, menyuarakan pentingnya menjaga marwah ulama dan kesetiaan pada khittah perjuangan NU.
Di tengah kesibukannya, ia tetap menyempatkan diri menjenguk orang sakit, menghibur kaum miskin, dan menghadiri hajatan kecil. Sikap rendah hati dan keikhlasannya membuat saya begitu ta’dzim kepadanya.
Singkatnya, Mas Imam Aziz bukan hanya seorang kiai, tetapi juga simbol keikhlasan dalam pengabdian, keberanian dalam perjuangan, dan keteduhan dalam kepemimpinan. Ia telah berpulang, namun cahaya ilmunya, keteladanan hidupnya, dan semangat perjuangannya semoga terus hidup dalam santri-santrinya, dalam gerakan NU, dan dalam denyut umat yang terus berharap pada hadirnya ulama seperti beliau.
Selamat jalan, KH Muhammad Imam Aziz. Terima kasih atas segala ilmu, teladan, dan cinta yang engkau titipkan. Semoga Allah SWt menempatkanmu di sisi-Nya yang paling mulia, bersama para kekasih-Nya. Lahu Al-Fatihah. (RE)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: KH Muhammad Imam Aziz: Simbol Keikhlasan dalam Pengabdian
Pewarta | : Imadudin Muhammad |
Editor | : Deasy Mayasari |