TIMES FAK FAK, MALANG – Di ruang utama sebuah kafeteria Kota Malang, delapan orang seniman dan seorang moderator yang memandu jalannya diskusi sedang saling timpal membincangkan sebuah gebrakan baru.
Mereka dari komunitas Acara Obah: We are Obah sengaja berkumpul pada Selasa (25/2/2025) di Tumbu Space, Jl Ananas 23 Kota Malang dalam acara yang digelar untuk mengulik proses berkesenian para perupa.
“Kita membangun komitmen untuk bergerak, terutama dalam seni rupa. Maka kita namai acara gerakan kolektif kita dengan nama ‘Acara Obah’,” terang Didik Sudarwanto, salah satu seniman yang hadir.
Sekumpulan mahasiswa dan khalayak umum turut hadir meramaikan acara. Sebelum diskusi kesenian dimulai, tak jarang dari mereka menyempatkan diri mengitari sekeliling ruang utama Tumbu Space yang juga telah direkayasa menjadi galeri pameran seni.
Total ada 23 karya seni yang dipamerkan. Dua puluh karya berupa seni lukis dan grafis, sedangkan tiga lainnya berupa seni rupa.
Pameran seni yang bertajuk serupa dengan bincang seni malam itu sejarinya telah dibuka sejak 22 Februari lalu dan akan berakhir pada 28 Februari 2025.
Pertunjukan nyanyi solo dan akustik oleh Omen Arie dalam pembukaan acara bincang seni 'We are Obah' (FOTO: M. Arif Rahman Hakim/TIMES Indonesia)
Seluruh karya yang dipajang merupakan buah jerih payah delapan orang para pendiri komunitas tersebut - Dapeng Gembiras, Deny S, Dhani Dian, Didik Sudarwanto, Eddo Pradana, Fandi Achmad, Indra Setiawan dan Tomi Adi.
Setelah matahari mulai terbenam, sekira pukul 18.00 WIB para pengunjung tidak lagi melihat-lihat dan jeli memerhatikan detail karya yang dipamerkan dalam ruangan. Mereka khidmat menyimak sesi utama kegiatan, khususnya bincang seni, yang akan dimulai.
Delapan orang yang menjadi kontributor pameran mengisi tempat duduk di panggung utama. Lengkap dengan moderator, Pugud Haidi atau yang akrab disapa Puguk. Tak lama setelahnya ia pun membuka, sekaligus mengarahkan jalannya aktivitas dialektis berlingkup kesenian tersebut.
Pembukaan diisi oleh pertunjukan nyanyi solo dan akustik oleh Omen Arie. Setelah itu, sesi acara segera masuk pada fase bincang seni. Perbincangan awal mengarah pada topik latar belakang terbentuknya komunitas dan muasal ide gerakan pameran tersebut.
Didik Sudarwanto, salah seorang kontributor sekaligus penggagas kegiatan itu menjelaskan, bahwa awal-mula dari semua kegiatan ini tercetuskan dari sebuah tongkrongan semata. Tanpa embel-embel kesenian.
Pengunjung melihat dan memerhatikan hasil karya seni dalam pameran 'We are Obah' (FOTO: M. Arif Rahman Hakim/TIMES Indonesia)
"Sampai tibalah satu waktu terbesit dalam benak kami, sebuah upaya untuk menciptakan aktivitas," ujarnya.
Mereka memahami, barangkali tak bisa dibantah jika seorang seniman sering menjalani kerja kreatifnya dengan lakuan soliter. Menyendiri.
Bahkan tak jarang sampai mengisolasi diri dari sentuhan publik hanya untuk mengumpulkan dan mengolah imajinasi. Tetapi di satu sisi, mereka tetap menyadari pentingnya menyambung silaturahmi. Berkolaborasi. Lalu menciptakan jaringan dan ekosistem antar pegiat seni yang saling membentuk motivasi dan inovasi.
“Sampai akhirnya kita mewujudkan pameran pertama kita yang bertajuk ‘We are Obah’. Nama itu memberikan eksistensi kepada diri kita sebagai manusia-manusia yang bergerak dan berkesenian,” ungkap Didik.
Tercetusnya tekad membuat gerakan pameran itu pun setelah tak lama mereka memutuskan menghimpun minat masing-masing personel dalam satu wadah komunitas bernama Acara Obah.
Pemilihan kata 'obah' sendiri dipilih sebab dalam pemaknaannya, seniman tak boleh berdiam diri dalam bermalas-malasan dalam proses kreatifnya. Dia harus tetap bergerak.
Gelaran aktivitas seni Acara Obah sendiri sepenuhnya bersifat kolektif. Dalam artian jika nantinya ada upaya kembali untuk mengadakan aktivitas, proses berjalannya kan disesuaikan dengan ketersediaan, kemampuan, dan kesiapan masing-masing anggota di dalamnya.
Indra Setiawan menjelaskan, memang tidak mudah melewati tantangan untuk tetap terus berkesenian di tengah riuhnya aktivitas harian. Terlebih untuk menciptakan sebuah gerakan di ruang publik seperti ini. Butuh ketekunan. “Eksistesi adalah buah dari konsekuensi,” pungkasnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Meresapi Karya Perupa Malang Raya dalam Pameran dan Bincang Seni 'We are Obah'
Pewarta | : M. Arif Rahman Hakim (Magang MBKM) |
Editor | : Ronny Wicaksono |